Overwork di Startup Bisa Picu Burnout, Tes Kesehatan Mental Bisa Jadi Jalan Keluar

Budaya hustle di startup memicu burnout: target besar, jam kerja tak berbatas, dukungan lemah. Jaga batas, tidur cukup, komunikasi terbuka, dan cari dukungan. Cek kondisi via tes mental NSD.
Di balik gemerlap dunia startup yang sering digambarkan penuh inovasi dan kebebasan, ada realitas kerja yang jauh lebih keras dari yang terlihat di permukaan. Ritme kerja yang cepat, target ambisius, dan budaya “selalu online” membuat para pekerjanya kerap harus berpacu tanpa henti. Setiap hari terasa seperti perlombaan yang tak boleh kalah, dan waktu istirahat pun sering dianggap sebagai kemewahan. Dalam atmosfer seperti ini, tekanan bisa datang dari segala arah — mulai dari ekspektasi atasan, tuntutan investor, hingga persaingan antar rekan kerja.
Sayangnya, semangat mengejar pertumbuhan dan keberhasilan yang tinggi ini sering kali menutupi satu hal penting: kesehatan mental para pekerja. Banyak anak muda yang bergabung ke startup dengan semangat membara, namun lambat laun mulai merasakan kelelahan yang menggerogoti. Rasa cemas, sulit tidur, hingga hilangnya motivasi bekerja adalah sinyal awal yang kerap diabaikan. Dan ketika gejala itu dibiarkan menumpuk, burnout pun bisa menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.
Tekanan Tinggi di Balik “Culture Hustle”
Budaya hustle yang melekat di startup kerap dipandang sebagai sesuatu yang keren. Begadang demi menyelesaikan project, meeting lintas zona waktu, bahkan kerja di akhir pekan dianggap wajar. Padahal, ketika tubuh dan pikiran dipaksa terus menerus, ada harga yang harus dibayar. Data dari WHO menyebutkan bahwa jam kerja berlebihan meningkatkan kemungkinan masalah kesehatan serius, mulai dari gangguan tidur, depresi, hingga penyakit jantung.
Beberapa kasus sudah ramai diberitakan, misalnya kabar karyawan startup di Asia yang tumbang karena overwork. Fenomena ini seharusnya jadi peringatan keras bahwa kesehatan mental tak boleh diabaikan hanya demi mengejar pertumbuhan bisnis.
Kenapa Burnout Rentan Terjadi di Startup?
Ada beberapa alasan kenapa burnout cepat menghantam karyawan startup:
- Target besar, sumber daya terbatas. Tim kecil sering dipaksa mengerjakan tugas besar dengan deadline singkat.
- Jam kerja fleksibel yang kebablasan. Fleksibilitas sering berubah jadi bekerja tanpa batas.
- Tekanan investor. Dorongan untuk cepat berkembang membuat manajemen menuntut hasil instan.
- Kurangnya sistem pendukung. Startup biasanya belum punya divisi HR yang kuat untuk menjaga kesejahteraan karyawan.
Gabungan faktor-faktor ini bisa membuat pekerja merasa terjebak dalam siklus kerja tiada henti.
Dampak Burnout yang Sering Diremehkan
Burnout bukan sekadar rasa lelah biasa. Gejalanya bisa mencakup kehilangan motivasi, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi, hingga merasa hampa meskipun sedang bekerja. Bila dibiarkan, kondisi ini bukan hanya memengaruhi performa kerja, tetapi juga kehidupan pribadi. Hubungan dengan keluarga atau pasangan bisa terganggu, bahkan kesehatan fisik ikut menurun.
Di Indonesia sendiri, survei beberapa tahun terakhir menunjukkan meningkatnya kesadaran pekerja muda terhadap isu kesehatan mental. Namun, banyak yang masih bingung harus mulai dari mana untuk mencari bantuan.
Fenomena yang Sedang Marak
Belakangan, istilah silent quitting sempat ramai di media sosial. Banyak pekerja, khususnya generasi muda, memilih tetap bekerja sesuai jam tapi menahan diri untuk tidak “all out” seperti sebelumnya. Alasannya jelas: menjaga kesehatan mental agar tidak terjebak burnout. Fenomena ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk menjaga keseimbangan hidup sudah mulai tumbuh.
Selain itu, beberapa startup global bahkan mulai memberikan cuti khusus untuk kesehatan mental. Langkah ini patut ditiru agar pekerja bisa lebih produktif tanpa harus mengorbankan kesejahteraan.
Tips Mengurangi Risiko Burnout
Selain mencoba tes kesehatan mental, ada beberapa cara sederhana yang bisa dipraktikkan:
- Atur jam kerja. Jangan biarkan fleksibilitas berubah jadi bekerja 24 jam.
- Komunikasi terbuka. Sampaikan beban kerja yang tidak realistis kepada atasan.
- Sisihkan waktu untuk diri sendiri. Olahraga ringan, hobi, atau sekadar jalan-jalan bisa membantu mengurangi stres.
- Tidur cukup. Kualitas tidur sangat berpengaruh pada kesehatan mental.
- Cari support system. Teman atau komunitas bisa jadi tempat berbagi cerita dan solusi.
Penutup
Pada akhirnya, produktivitas tidak akan bertahan lama jika fondasinya rapuh. Karyawan yang sehat secara mental justru lebih mampu berkontribusi maksimal. Jadi, menjaga kesehatan pikiran sama pentingnya dengan mengejar target bisnis.
Bagi kamu yang merasa mulai kewalahan dengan ritme kerja startup, jangan menunggu sampai benar-benar jatuh. Coba luangkan waktu untuk memeriksa kondisi mental melalui platform yang tersedia. Dengan langkah kecil ini, kamu bisa lebih memahami diri dan mengambil keputusan tepat sebelum terlambat.
NSD (Nirmala Satya Development) hadir menyediakan platform tes yang mudah diakses untuk membantu kamu lebih peduli terhadap kesehatan mental.