Quiet Quitting sebagai Sinyal Perubahan: Peran Tes Kesehatan Mental

Quiet quitting menandai tuntutan kerja tak sehat dan pentingnya batas yang jelas. Jaga keseimbangan, cek kondisi lewat tes mental, dan dorong budaya kerja adil agar produktivitas berkelanjutan.
Beberapa tahun terakhir, istilah quiet quitting makin sering berseliweran di media sosial maupun obrolan seputar dunia kerja. Istilah ini merujuk pada kondisi di mana seseorang tetap menjalankan pekerjaan sesuai deskripsi tugas, tetapi tidak lagi ingin memberikan “effort lebih” di luar kewajiban formal. Bukan berarti malas, melainkan bentuk perlawanan diam-diam terhadap budaya kerja yang menuntut tenaga ekstra tanpa kompensasi sepadan.
Banyak pekerja muda, terutama generasi milenial dan gen Z, mengaku relate dengan fenomena ini. Mereka merasa burnout karena beban kerja menumpuk, sementara apresiasi tidak seimbang. Apalagi tren work-life balance makin gencar dibicarakan, membuat banyak orang mulai mengutamakan kesehatan mental dibanding sekadar mengejar prestasi di kantor.
Kenapa Quiet Quitting Jadi Fenomena?
Ada beberapa hal yang mendorong tren ini makin besar:
- Jam kerja tidak sehat. Banyak karyawan muda mengeluhkan jam kerja yang melampaui aturan. Meeting malam, chat kantor 24 jam, bahkan lembur dianggap “normal”. Akhirnya, banyak yang memilih menahan energi dengan hanya fokus pada tanggung jawab inti.
- Ekspektasi tinggi tanpa dukungan. Beberapa kantor menuntut hasil cepat, tapi tidak menyediakan sumber daya atau pelatihan memadai. Kondisi ini memunculkan rasa frustrasi.
- Generasi muda lebih vokal soal batasan. Jika dulu banyak orang memilih diam, kini pekerja muda lebih berani menarik garis tegas antara kerja dan kehidupan pribadi.
Menurut laporan Gallup, lebih dari 50% pekerja muda di dunia mengaku tidak merasa “engaged” dengan pekerjaannya. Angka ini selaras dengan maraknya pembahasan quiet quitting di platform seperti TikTok dan Twitter.
Dampaknya ke Kesehatan Mental
Di satu sisi, quiet quitting bisa jadi mekanisme bertahan. Dengan membatasi diri hanya pada tanggung jawab utama, seseorang bisa mengurangi tekanan berlebih. Namun di sisi lain, kondisi ini juga bisa menandakan adanya kelelahan psikis yang lebih serius.
Gejala yang sering muncul antara lain:
- Motivasi kerja menurun drastis.
- Rasa sinis terhadap atasan atau rekan kerja.
- Sulit tidur karena beban pikiran.
- Perasaan tidak berharga meski sudah bekerja keras.
Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang menjadi burnout parah, bahkan memicu depresi.
Tes Kesehatan Mental Online Sebagai Alternatif
Banyak orang masih ragu untuk konsultasi langsung ke psikolog, entah karena faktor biaya, akses, atau rasa canggung. Di sinilah tes kesehatan mental bisa jadi langkah awal yang sederhana.
Tes ini membantu mengenali gejala awal seperti tingkat stres, kecemasan, atau tanda burnout. Hasilnya memang bukan diagnosis resmi, tapi cukup memberikan gambaran kondisi diri. Dari situ, seseorang bisa memutuskan apakah perlu istirahat lebih banyak, melakukan konseling, atau mencari bantuan profesional.
Dengan perkembangan teknologi, kini tes kesehatan mental bisa dilakukan lewat platform terpercaya hanya dalam beberapa menit. Hasilnya disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga orang tidak merasa dihakimi.
Fakta Terkini yang Perlu Diperhatikan
Fenomena quiet quitting ternyata tidak hanya terjadi di luar negeri. Di Indonesia, banyak survei mengungkap karyawan muda cenderung merasa “lelah” dengan budaya kerja yang kaku. Misalnya, laporan dari Populix pada 2023 menyebutkan bahwa lebih dari 60% pekerja usia 20–30 tahun merasa tidak puas dengan sistem kerja yang kurang fleksibel.
Selain itu, pandemi sempat membuat orang lebih sadar pentingnya kesehatan mental. Namun setelah kondisi kembali normal, banyak kantor justru kembali ke pola lama. Kontradiksi inilah yang membuat quiet quitting makin relevan dibicarakan.
Menyikapi Quiet Quitting dengan Bijak
Fenomena ini tidak selalu harus dipandang negatif. Justru bisa menjadi alarm untuk mengevaluasi: apakah tempat kerja sudah sehat? Apakah karyawan punya ruang berkembang tanpa mengorbankan diri sendiri?
Untuk pekerja muda, langkah sederhana seperti mengikuti tes kesehatan mental online bisa membantu mengenali kondisi emosional. Dari hasil itu, seseorang bisa menentukan strategi personal—entah dengan membicarakan beban kerja ke atasan, mencari lingkungan baru, atau menata ulang prioritas.
Bagi perusahaan, penting memahami bahwa pekerja yang merasa sehat mentalnya akan lebih produktif. Memberikan fleksibilitas, apresiasi, dan komunikasi yang baik bisa mengurangi potensi quiet quitting yang merugikan kedua belah pihak.
Penutup
Quiet quitting hanyalah salah satu cermin dari dinamika kerja modern yang penuh tekanan. Fenomena ini bukan sekadar tren viral, melainkan sinyal nyata bahwa kesehatan mental perlu mendapat perhatian serius. Mengikuti tes kesehatan mental online bisa menjadi pintu masuk untuk memahami kondisi diri, sebelum situasi semakin berat.
NSD (Nirmala Satya Development) hadir menyediakan platform berbagai tes yang membantu mengenali potensi, kapasitas belajar, hingga kondisi mental, sehingga setiap orang punya kesempatan lebih baik untuk berkembang tanpa harus mengorbankan kesehatannya.