logo PT Nirmala Satya Development
Tes Kesehatan Mental

Toxic positivity menekan emosi wajar. Tes kesehatan mental online membantu melihat kondisi nyata, memvalidasi perasaan, dan memberi langkah praktis agar pulih—bukan sekadar memaksa 'positif' saat.

Beberapa tahun terakhir, istilah toxic positivity sering muncul di timeline media sosial. Di permukaan, kalimat penuh semangat seperti “ayo tetap bersyukur”, “jangan mikirin yang jelek-jelek”, atau “positif vibes only” terdengar manis. Tapi kalau dipikir ulang, tidak semua situasi bisa diselesaikan dengan senyum atau kalimat motivasi. Ada kalanya masalah memang berat, dan memaksakan diri selalu ceria justru bikin beban makin terasa.

Fenomena ini makin jelas terlihat di era digital. Orang mudah membagikan kutipan motivasi atau postingan penuh optimisme, tapi jarang ada yang berani menampilkan sisi rapuhnya. Padahal kenyataan hidup nggak selalu indah. Itulah yang kemudian melahirkan tren toxic positivity: kondisi di mana seseorang merasa harus selalu positif, sekalipun sedang terpuruk.

Kenapa Bisa Jadi “Toxic”?

Optimis tentu baik, tapi berbeda cerita kalau semua emosi negatif dianggap salah. Misalnya, seseorang kehilangan pekerjaan lalu teman-temannya bilang, “Tenang aja, pasti ada jalan”. Kedengarannya suportif, tapi ucapan itu bisa menutup ruang orang tersebut untuk jujur dengan rasa kecewanya.

Inilah yang bikin toxic positivity berbahaya:

  • Perasaan tertekan. Orang jadi merasa bersalah kalau marah, sedih, atau takut.
  • Emosi terpendam. Karena ditolak lingkungan, mereka menyimpan masalah dalam diam.
  • Kesehatan mental terganggu. Lama-lama, tekanan batin bisa memicu stres, insomnia, bahkan depresi.

Dengan kata lain, terlalu positif justru bikin orang kehilangan kesempatan memproses emosi secara sehat.

Sosial Media dan Budaya “Good Vibes Only”

Kalau kamu sering buka TikTok atau Instagram, pasti pernah lihat tren konten “healing trip”, “positive vibes”, sampai “manifest your dream life”. Konten semacam ini memang menyenangkan, tapi juga bisa membuat standar palsu. Seolah-olah hidup orang lain selalu bahagia, penuh pencapaian, tanpa masalah.

Sebuah riset dari American Psychological Association menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap narasi “selalu positif” bisa menimbulkan rasa rendah diri. Orang jadi merasa gagal kalau hidupnya nggak seindah konten di layar. Fenomena FOMO (fear of missing out) pun makin tinggi, terutama di kalangan anak muda.

Di Indonesia, hal ini relevan dengan tren “self-branding” di LinkedIn atau konten estetik di TikTok. Banyak orang berlomba menunjukkan sisi terbaiknya, sementara sisi rapuh hampir tak pernah terlihat. Akibatnya, tekanan psikologis diam-diam menumpuk.

Bagaimana Tes Kesehatan Mental Online Bisa Membantu?

Di tengah situasi ini, tes kesehatan mental online bisa jadi alat bantu yang realistis. Tes semacam ini bukan sekadar menjawab “kamu sehat” atau “kamu stres”, tapi bisa memberikan gambaran seberapa stabil kondisi emosional seseorang.

Dengan menjawab pertanyaan seputar pola tidur, tingkat stres, perasaan cemas, sampai cara menghadapi tekanan, hasil tes bisa menunjukkan indikator yang jarang kita sadari. Misalnya, kamu mungkin selama ini merasa baik-baik saja, tapi ternyata gejala burnout sudah mulai muncul. Atau sebaliknya, kamu sering merasa bersalah karena sering sedih, padahal itu respon normal terhadap situasi berat.

Tes ini ibarat cermin yang membantu kita menerima realita, bukan sekadar terjebak dalam ilusi “harus positif setiap saat”.

Contoh Kasus yang Sering Terjadi

Bayangkan seorang mahasiswa perantau. Ia sedang berjuang menyelesaikan skripsi sambil bekerja paruh waktu. Karena lelah, ia curhat di grup teman. Bukannya mendapat dukungan, ia malah menerima komentar seperti “semangat dong, banyak yang lebih susah dari kamu”.

Alih-alih lega, mahasiswa tadi jadi merasa makin tertekan. Akhirnya dia memilih diam, menutup diri, dan pura-pura baik-baik saja. Kalau dibiarkan, kondisi ini bisa memicu gejala depresi.

Dengan mengikuti tes kesehatan mental, ia bisa menemukan bahwa rasa lelah dan cemasnya wajar. Hasil tes bahkan bisa merekomendasikan langkah sederhana, seperti mengatur pola tidur atau mencoba teknik relaksasi. Itu jauh lebih membantu ketimbang hanya mendengar kalimat “semangat ya”.

Menerima Emosi Adalah Bagian dari Kesehatan Mental

Psikolog sering menekankan pentingnya mengakui emosi negatif. Menangis, marah, kecewa, itu semua manusiawi. Justru dengan mengizinkan diri merasakan emosi tersebut, kita bisa memprosesnya dengan lebih sehat.

Di sinilah peran tes kesehatan mental terasa penting. Tes membantu membedakan antara emosi normal dengan tanda-tanda gangguan psikologis. Jadi, seseorang bisa lebih objektif melihat kondisi dirinya tanpa harus membandingkan dengan standar “selalu bahagia” yang sering dipamerkan orang lain.

Penutup

Toxic positivity memang terlihat manis, tapi efek jangka panjangnya bisa melelahkan. Hidup bukan sekadar mengulang kalimat motivasi atau memposting senyum palsu di media sosial. Ada saatnya kita merasa hancur, dan itu normal.

Di sinilah tes kesehatan mental  bisa jadi sahabat yang membantu kita melihat realita. Dengan hasil tes, kita bisa lebih memahami kondisi emosional, menerima perasaan, dan mencari langkah nyata untuk pulih.

Kalau kamu merasa sering terjebak dalam standar “harus selalu positif”, mungkin sudah saatnya coba mengenali kondisi psikologis lebih dalam. NSD (Nirmala Satya Development) menyediakan platform tes kesehatan mental yang bisa membantu melihat gambaran yang lebih jujur tentang diri. Karena hidup bukan tentang berpura-pura bahagia, tapi tentang berani menerima kenyataan dan tetap melangkah maju.

Artikel berhubungan: