logo PT Nirmala Satya Development
Tes Kepribadian Online

Self-diagnosis di TikTok berisiko salah kaprah, memicu cemas, dan menunda bantuan. Saring informasi dengan tes kepribadian kredibel sebagai langkah awal, lalu konsultasi profesional bila perlu segera.

Beberapa tahun terakhir, aplikasi berbagi video seperti TikTok jadi salah satu ruang ekspresi yang paling ramai diakses anak muda. Dari sekadar hiburan, tips belajar, sampai obrolan serius seputar kesehatan mental, semua bisa ditemui di sana. Yang menarik, belakangan muncul fenomena self-diagnosis, di mana orang mencoba menebak kondisi psikologisnya sendiri hanya dari potongan konten singkat. Banyak remaja atau mahasiswa yang setelah menonton video, tiba-tiba merasa punya gejala tertentu, padahal bisa saja sebenarnya tidak.

Fenomena ini jadi bahan diskusi serius, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Beberapa pakar psikologi menyoroti efeknya: di satu sisi membantu orang lebih peduli dengan kondisi batinnya, tapi di sisi lain bisa menimbulkan salah kaprah. Bukan hal aneh melihat komentar di bawah video yang isinya “wah, aku kayaknya ADHD deh” atau “gejala ini persis kayak aku, fix bipolar”. Padahal diagnosis medis butuh proses panjang, wawancara klinis, hingga observasi menyeluruh.

Dari TikTok ke Tes Kepribadian Online

Konten bertema psikologi di TikTok cepat sekali mendapat perhatian. Ada istilah “TikTok Brain” yang bahkan sudah sering dibahas di artikel internasional. Ini menggambarkan bagaimana orang muda sekarang lebih sering mencari jawaban cepat dari video singkat ketimbang membaca penjelasan panjang. Dalam konteks kesehatan mental, efeknya terasa jelas. Hanya dengan menonton 30 detik video tentang overthinking, seseorang bisa langsung merasa dirinya punya gangguan kecemasan.

Di Indonesia, data dari We Are Social 2024 mencatat pengguna TikTok mencapai lebih dari 106 juta. Angka itu menjadikan platform ini salah satu sumber informasi terbesar generasi muda. Masalahnya, tidak semua konten punya dasar ilmiah. Banyak yang dibuat hanya berdasarkan pengalaman pribadi tanpa data pendukung.

Risiko dari Self-Diagnosis

Ada beberapa bahaya dari kecenderungan menempelkan label diagnosis ke diri sendiri tanpa pemeriksaan. Pertama, bisa menimbulkan kecemasan berlebihan. Ketika seseorang yakin dirinya mengidap gangguan tertentu, rasa panik justru makin meningkat. Kedua, label itu bisa membatasi perkembangan. Siswa misalnya, merasa dirinya tidak bisa fokus karena “punya ADHD”, lalu menyerah pada kesulitan belajar. Ketiga, bisa menunda penanganan yang benar. Karena merasa sudah “paham” dari TikTok, banyak orang akhirnya tidak mencari bantuan profesional.

Kondisi ini diperparah dengan budaya FOMO (fear of missing out). Tidak sedikit orang yang merasa “keren” kalau bisa mengaitkan dirinya dengan istilah-istilah psikologi populer. Seolah-olah dengan punya label tertentu, mereka lebih unik atau lebih bisa dipahami oleh kelompoknya.

Alternatif Lebih Terukur: Tes Kepribadian Online

Di tengah ramainya tren ini, ada cara lain yang bisa dipakai sebagai langkah awal mengenali diri, yaitu mengikuti tes kepribadian online. Tentu tes semacam ini bukan pengganti psikolog, tapi setidaknya lebih terstruktur daripada sekadar menonton video singkat.

Tes kepribadian yang kredibel biasanya disusun berdasarkan teori psikologi yang sudah diuji. Misalnya, model Big Five Personality yang mengukur lima dimensi utama kepribadian: keterbukaan, kehati-hatian, ekstroversi, keramahan, dan stabilitas emosional. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disusun sistematis, hasilnya bisa memberi gambaran pola perilaku dan preferensi diri.

Bagi pelajar, tes ini bisa membantu menentukan gaya belajar yang cocok. Bagi mahasiswa, bisa memberi arah pilihan karier. Untuk pekerja, tes kepribadian online berguna memahami cara berkomunikasi dengan rekan tim atau atasan. Semua itu jelas lebih bermanfaat daripada sekadar mengaitkan diri dengan potongan video di TikTok.

Menemukan Keseimbangan

Bukan berarti semua konten TikTok buruk. Banyak kreator yang justru punya latar belakang psikologi dan berusaha menyebarkan edukasi. Namun, tetap perlu sikap kritis dalam menyerap informasi. Menggunakan tes kepribadian online bisa menjadi langkah penyaring. Setelah tahu gambaran diri, baru kalau dirasa perlu, lanjut konsultasi ke tenaga profesional.

Kesadaran seperti ini sangat penting, terutama karena data WHO menyebutkan kasus gangguan kecemasan dan depresi meningkat pesat setelah pandemi. Dunia kerja, lingkungan sekolah, bahkan hubungan sosial, semuanya bisa memicu tekanan. Tanpa alat bantu yang tepat, orang mudah terjebak dalam lingkaran asumsi sendiri.

Penutup

Fenomena self-diagnosis di TikTok menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk cara pandang generasi muda terhadap kesehatan mental. Namun agar tidak salah arah, tetap dibutuhkan pendekatan yang lebih terukur. Tes kepribadian online bisa menjadi jembatan, membantu individu mengenali dirinya secara lebih runtut sebelum mengambil langkah lebih jauh.

NSD (Nirmala Satya Development) menyediakan platform tes kepribadian online yang dapat diakses siapa saja, mulai dari siswa, mahasiswa, hingga pekerja. Lewat pendekatan terukur ini, setiap orang bisa mendapatkan gambaran lebih jelas tentang dirinya tanpa harus bergantung pada kesimpulan instan dari konten viral.

Artikel berhubungan: