PENGERTIAN RESILIENSI
Resiliensi adalah kemampuan yang ada dalam diri individu untuk kembali pulih dari suatu keadaan yang menekan dan mampu beradaptasi dan bertahan dari kondisi tersebut.
Secara bahasa, resiliensi merupakan istilah yang berasal dari bahasa inggris dari kata resilience yang artinya daya pegas, daya kenyal atau kegembiraan (John Echols., Hassan Shadily, 2003). Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam klohnen, 1996) dengan nama ego-resillience yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Menurut R-G Reed (dalam Nurinayanti dan Atiudina, 2011) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas atau kemampuan untuk beradaptasi secara positif dalam mengatasi permasalahan hidup yang signifikan. Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli behavioral dalam rangka usaha untuk mengetahui, mendefinisikan dan mengukur kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih (recovery) dari kondisi tekanan (McCubbin, 2001).
Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Secara sederhana Jackson dan Watkin mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.
Samuel (dalam Nurinayanti dan Atiudina, 2011) mengartikan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk tetap mampu bertahan dan tetap stabil dan sehat secara psikologis setelah melewati peristiwa-peristiwa yang traumatis. Sedangkan Nurinayanti dan Atiudina (2011) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk beradaptasi secara positif ketika dalam kondisi yang tidak menyenangkan dan penuh resiko.
Resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali dari pengalaman negatif yang mencerminkan kualitas bawaan dari individu atau merupakan hasil dari pembelajaran dan pengalaman. Roberts (2007) mengutip pengertian bebarapa ahli yang mendefinisikan resiliensi sebagai presence atau kehadiran good outcomes (hasil yang baik) dan kemampuan mengatasi ancaman dalam rangka menyokong kemampuan individu untuk beradaptasi dan berkembang secara positif.
Di sisi lain, Gotberg (dalam Nurinayati dan Atiudina) menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan mencegah atau meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan. Menurutnya, resiliensi juga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain dukungan eksternal, kekuatan personal yang berkembang pada diri seseorang dan kemampuan sosial.
Resiliensi (dalam Nurinayati dan Atiudina) adalah sebuah kemampuan bawaan dari sejak mereka lahir. Setiap manusia harus mempunyai resiliensi untuk mampu melewati tugas-tugas perkembangannya dengan sukses. Sebagai contoh, ketika seorang anak mulai belajar berjalan, meskipun resiliensi adalah sebuah kemampuan bawaan manusia, resiliensi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, sebagai contoh lingkungan dan pendidikan. Sehingga setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjadi orang yang resilien dalam menghadapi suatu tugas perkembangan yang dialami dan permasalahan yang terjadi.
Wolff (dalam Banaag, 2002) memandang resiliensi sebagai trait. Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai inteligensi yang baik, mudah beradaptasi, social temperament, dan berkepribadian yang menarik ada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada pengghargaan pada diri sendiri, kompetensi dan perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah individu yang resilien.
Lazarus (dalam Tugade & Fredrikson, 2004) menganalogikan resiliensi dengan kelenturan pada logam. Misalnya besi cetak yang banyak dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok atau komunitas mampu mengandung karbon sangat keras tapi getas atau mudah patah (tidak resilien) sedangkan besi tempa mengandung sedikit karbon sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan (resilien). Perumpamaan tersebut bisa diterapkan untuk membedakan individu yang memiliki daya tahan dan yang tidak saat dihadapkan pada tekanan psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan yang ada dalam diri individu untuk kembali pulih dari suatu keadaan yang menekan dan mampu beradaptasi dan bertahan dari kondisi tersebut.
DAFTAR ISI
Amacon. Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Keys To Finding Your Inner Strength And Overcome Life Hurdles. New York: Broadway Books.
Banaag, C. G. (2002). Resiliency, Street Children, And Substance Abuse Prevention. Prevention Preventif, Nov. 2002, Vol 3.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 2003. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Klohnen, E.C. 1996. Conceptual Analysis and Measurement of The Constust of Ego Resilience. Journal of Personality and Social Psychology, Volume 70 No 5
McCubbin, L. 2001. Chalange to The Definition of Resilience. Paper presented at The Annual Meeting of The American Psychological Association in San Francisco
Nurinayanti, R., & Atiudina. (2011).Makna kebersyukuran dan Resiliensi: Telaah Pustaka tentang Pengaruh Kebersyukuran dan Pengaruhnya Terhadap Daya Resiliensi Pada Korban Erupsi Merapi DIY 2010. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Tugade M.M & B.L. Fredrickson. (2004). Resilient Individual Use Positive Emotions To Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality and Social Psychology, Volume 24, no 2. 320-333