Jenis-Jenis Alat Ukur Psikologi
Terdapat beberapa jenis alat ukur psikologis yang biasanya digunakan dalam penelitian psikologis, antara lain: tes, inventori kepribadian, skala sikap, observasi, dan wawancara
Terdapat beberapa jenis alat ukur psikologis yang biasanya digunakan dalam penelitian psikologis, antara lain: tes, inventori kepribadian, skala sikap, observasi, dan wawancara (Ary, Yacob, & Razavieh, 1985; Baltes, Reese, & Nesselroad, 1988; Gay, 1987; McMillan & Schumacher, 2002).
Berikut adalah penjelasan secara garis besar tentang jenis-jenis alat ukur psikologi tersebut.
Tes
Menurut Ary, Jacobs, & Razavieh (1985), tes merupakan alat ukur yang sangat penting dalam penelitian psikologi. Tes merupakan seperangkat stimuli yang disajikan kepada individu untuk mendatangkan atau memperoleh respon-respon yang diekspresikan dalam bentuk skor angka. Skor ini didasarkan pada sampel perilaku individu yang representatif atau pada indikator-indikator dari atribut yang diukur oleh suatu tes. Dalam penelitian psikologi, dikenal adanya tes terstandar (tes baku) dan tes tak terstandar (disusun dan dikembangkan sendiri oleh peneliti guna mengukur atribut yang sedang diamati). Termasuk dalam tes terstandar antara lain adalah tes inteligensi (intelligence test), yaitu tes yang digunakan untuk mengukur tingkat kecerdasan subjek, dalam arti kemampuannya untuk mempersepsi hubungan, memecahkan masalah, dan menerapkan pengetahuan yang dimiliki dalam berbagai macam konteks; tes prestasi (achievement test), yaitu tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan skolastik subjek; dan tes kepribadian (projective test), yakni suatu tes yang digunakan untuk mengukur sifat-sifat atau karakteristik kepribadian subjek. Suatu tes dikatakan terstandar jika telah memiliki beberapa properti (karakteristik) tes baku seperti: standar norma, validitas dan reliabilitas, dan petunjuk dalam mengadministrasikan dan penskorannya (Friedenburg, 1995).
Inventori kepribadian (personality inventory)
Karakteristik kepribadian di samping dapat diukur melalui tes projektif, juga dapat diukur melalui tes non proyektif, yakni yang biasa di sebut dengan inventori kepribadian. Salah satu bentuk inventori ini adalah laporan (self report), dan salah satu bentuk laporan diri tersebut adalah angket (questionnaire). Dalam inventori, subjek disajikan sejumlah pernyataan yang menggambarkan pola-pola perilaku tertentu dan diminta untuk menyatakan apakah pola-pola perilaku yang dinyatakan tersebut merupakan karakteristik perilakunya atau bukan, dengan menjawab ya atau tidak, atau dengan memberikan cek pada salah satu pilihan jawaban yang disediakan. Seperti halnya tes, inventori ada yang terstandar dan tak terstandar. Beberapa contoh inventori terstandar antara lain adalah: California F-Scale, yang digunakan untuk mengukur autoritarianisme; dan Cattell’s Sixteen Personality Factor Questionnaire, yang digunakan untuk mengukur sejumlah sifat.
Beberapa inventori lain yang banyak digunakan dalam penelitian antara lain adalah Minnesota Multiphasic Personality Inventory, the Guilford-Zimmerman Temperament Survey, the Mooney Problem Check List, dan the Edwards Personal Schedule. Inventori telah banyak digunakan dalam penelitianpenelitian untuk mengetahui hubungan antara karakteristik kepribadian dengan beberapa variabel seperti inteligensi, prestasi, sikap, underachievement dari beberapa kelompok populasi atau subjek tertentu (Ary, Yacobs, & Razavief, 1985).
Skala sikap (attitude scale)
Menurut beberapa penulis (Ary at al., 1985; gay, 1987; Friedenburg, 1995), skala sikap merupakan suatu alat ukur yang digunakan untuk mengukur sikap, nilai, dan karakteristik lain. Dalam skala sikap berisikan nilai-nilai bilangan untuk menilai subjek, obyek, atau perilaku-perilaku untuk maksud mengkuantifikasikan atau mengukur kualitas-kualitas. Skala sikap berbeda dengan tes, sebab tidak seperti halnya hasil tes, hasil pengukuran skala sikap tidak menyatakan kekuatan atau kelemahan, keberhasilan atau kegagalan. Skala sikap mengukur seberapa jauh individu memiliki karakteristik nilai, keyakinan, minat, atau pandangan terhadap sesuatu. Sebagai contoh, skala sikap dapat digunakan untuk mengukur sikap remaja terhadap partai politik, pemilu, atau penggusuran untuk kepentingan pembangunan.
Banyak peneliti mendefinisikan sikap sebagai afek (perasaan) positif atau negatif terhadap suatu kelompok, institusi, konsep, atau obyek sosial tertentu. Dengan kata lain, pengukuran sikap pada dasarnya adalah menempatkan individu dalam suatu kontinum positif (favourable) – negatif (unfavourable) terhadap suatu obyek sikap.
Terdapat beberapa bentuk skala sikap yang dapat digunakan oleh peneliti sebagai acuan dalam mengembangkan skala sikap, yaitu: (1) summated rating scales (skala Likert); (2) equal-appering intervals scales (skala Thurstone); (3) cumulative scales (skala Guttman); dan semantic differential scales (Ary at al., 1985; Gay, 1987; Friedenberg, 1995). Dari empat model skala sikap tersebut, skala Likert merupakan tipe yang paling banyak digunakan.
Skala Likert mengukur sikap subjek terhadap suatu obyek sikap (topik) dengan cara meminta subjek untuk menyatakan apakah ia sangat setuju, setuju, tidak tahu, tidak setuju, atau sangat tidak setuju. Topik atau obyek sikap tersebut disajikan melalui pernyataan-pernyataan yang diekspresikan dalam bentuk kalimat positif (favorable) dan kalimat negatif (unfavorable). Respon subjek selanjutnya diskor dengan cara memberikan bobot. Misalnya, untuk respon terhadap pernyataan positif, skor yang diberikan adalah 5, 4, 3, 2, dan 1 untuk pernyataan sangat setuju, setuju, tidak tahu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Sedangkan untuk pernyataan negatif, pemberian skornya dilakukan dengan cara sebaliknya.
Jika skala Likert mengukur sikap dengan cara meminta subjek untuk menyatakan tingkat kesetujuan atau ketidak setujuannya terhadap suatu pernyataan, skala Thurstone mengukur sikap dengan cara menyajikan suatu pernyataaan tentang suatu topik yang merentang dari sangat positif (very favorable), netral (neutral), hingga sangat negatif (very unvfavorable), dan meminta subjek untuk memilih dari pernyataan-pernyataan tersebut yang sangat sesuai dengan sikapnya.
Skala Guttman juga disebut sebagai teknik kumulatif. Skala ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan yang ada pada skala Likert maupun Thurstone. Kritik yang ditujukan terhadap skala Likert maupun Thurstone adalah bahwa kedua skala tersebut berisikan pernyataan-pernyataan yang heterogen tentang berbagai macam dimensi obyek sikap (Ary at al., 1985). Sebagai contoh, skala Thurstone mengukur sikap terhadap perang, tidak memisahkan pernyataan jika dari pernyataan-pernyataan yang menyangkut dampak ekonomi yang disebabkan oleh perang, atau merefleksikan kemungkinan aspek-aspek lain dari sikap terhadap perang.
Oleh karena itu, skala tersebut tampak mengkombinasikan beberapa dimensi pada satu skala dan memunculkan problem dalam membuat interpretasi yang tegas dari skor yang diperoleh. Untuk mengatasi problem yang terdapat skala Likert dan Thurstone, Guttman mengembangkan suatu skala yang menekankan hanya pada satu dimensi (unidimensional scale), dan dimaksudkan untuk mengukur sikap subjek terhadap satu dimensi obyek. Suatu sikap dipandang sebagai unidimensional hanya jika sikap tersebut menghasilkan suatu skala kumulatif – yakni skala dimana butir-butirnya memiliki hubungan satu satu lain. Misalnya, jika subjek setuju dengan butir nomor 2, ia juga setuju dengan butir 1; subjek yang setuju dengan butir 3 juga setuju dengan butir 1 dan 2, dan seterusnya. Subjek yang menyetujui butir-butir khusus dalam model skala ini akan memperlihatkan skor tinggi pada total skala dibandingkan subjek yang tidak menyetujui.
Skala diferensial semantik merupakan pendekatan lain dalam mengukur sikap. Model skala ini dikembangkan oleh Osgood, Suci, dan Tannenbaum (Ary at al., 1985; Friedenberg, 1995). Skala ini didasarkan pada asumsi bahwa obyek sikap memiliki dua bentuk makna yang berbeda bagi individu, yakni: denotatif (makna harfiah dari suatu kata) atau konotatif (makna yang ditunjuk). Dua makna tersebut dapat dinilai secara bebas (independent). Orang pada umumnya lebih mudah untuk menyatakan makna denotatif dari suatu obyek alih-alih makna konotatif.
Meskipun demikian, menurut Ary at al., (1985), kita dapat mengukur makna konotatif dari suatu obyek secara tidak langsung dengan cara meminta individu untuk menilai obyek dengan menggunakan sejumlah kata sifat bipolar. Berdasarkan pada studi analitik yang dilakukannya, Osgood at al. menemukan tiga kluster kata sifat: (1) evaluatif, berisikan beberapa kata sifat seperti baik atau buruk, berguna atau tak berguna; (2) potensi, meliputi kata-kata sifat seperti kuat atau lemah, berat atau ringan; dan (3) aktivitas, berkaitan dengan kata sifat seperti aktif atau pasif, cepat atau lambat. Di antara tiga kluster tersebut, dimensi evaluatif tampak paling signifikan untuk mengukur sikap.